Menggali Kekuatan Diri


 Menggali Kekuatan Diri
Siapa yang tak ingin punya kekuatan? Selama ini kita mengasosiasikan kekuatan dengan harta dan materi, jabatan, kekuasaan atau keahlian. Menurut Hukum Sebab-Akibat (The law of cause and effect) pengertian kekuatan di atas lebih banyak mengarah pada pengertian kekuatan sebagai akibat dari pada sebuah sebab. Kepemilikan materi adalah akibat, karena tidak ada orang yang lahir dengan materi. Jabatan adalah akibat karena jabatan tidak pernah mendatangi seseorang kecuali setelah kita memiliki alasan untuk menerima jabatan (kehormatan). Keahlian pun akibat karena tidak semua orang yang punya ilmu atau punya pengalaman bisa dikatakan ahli kecuali setelah ada usaha mensinergikan keduanya. Jadi, jika ada akibat, pastilah ada sebabnya. Lalu apakah atau siapakah yang layak menjadi sebab itu? Jawabannya adalah, kekuatan diri… Perjuangan, Keputusan, dan Tanggung Jawab
Kekuatan diri adalah kekuatan yang lahir dari dalam diri pribadi kita. Kalau menurut pengalaman sejumlah orang berprestasi di bidangnya dan pendapat para pakar SDM, kekuatan diri ini bisa bermacam-macam bentuknya tetapi mengacu pada sebuah poin penting berikut ini. Arnold Schwarzenegger menyimpulkan bahwa kekuatan itu tidak didapat dari kemenangan (winning) misalnya saja kekuasaan, kekayaan atau keahlian tetapi dari perjuangan meraih kemenangan itu. “Ketika kamu terus berjuang melawan rintangan dan bersumpah tidak akan menyerah, maka itulah kekuatan”. Kalau kita menang lalu kemenangan itu akan membuat kita kuat, tentu ini sudah pasti, tetapi adakah kemenangan yang diraih oleh lemahanya perjuangan? Perjuangan (baca: Usaha) akan membuat orang dari yang semula bukan apa-apa berubah menjadi apa-apa; mengubah seseorang dari yang semula tidak memiliki apa-apa menjadi memiliki apa yang diinginkan. Sebaliknya tanpa kekuatan dan perjuangan akan membuat orang yang semula memiliki, berubah menjadi tidak memiliki; mengubah orang yang semula ‘menjadi’ ke tidak menjadi. Kekuatan diri juga mengacu pada kekuatan keputusan hidup. Semua orang pada dasarnya sudah mengambil keputusan untuk hidupnya dan sepanjang hidupnya. Tetapi, ada keputusan yang mencerminkan kekuatan diri dan ada pula keputusan yang mencerminkan kelemahan. Keputusan yang pertama adalah keputusan yang lahir dari dalam diri kita dengan kesadaran bahwa kita sedang memutuskan sesuatu; dengan pemahaman bahwa keputusan yang kita ambil tidak bertentangan dengan aspek ke-diri-an kita, kemampuan kita dan arah hidup yang kita tuju. Lao-Tzu menyimpulkan bahwa orang yang sudah menang melawan dirinya (baca: bisa menyuruh dan melarang) adalah orang yang punya kekuatan. Sementara keputusan yang kedua adalah, keputusan yang didapat dengan cara menerima semua pendapat orang lain ATAU menolak semua pendapat orang lain. Menerima seluruhnya adalah kelemahan sedangkan menolak seluruhnya adalah kekerasan-kepala (stubborn) yang juga cermin dari kelemahan. Menerima dan menolak seluruhnya adalah cerminan dari keputusan yang bukan dengan kesadaran dan pemahaman dari dalam melainkan ikut-ikutan pada tawaran (stimuli) dari luar tanpa proses pengolahan di dalam, atau bisa jadi karena impulsivitas emosi. Sehingga, ketika keputusan itu dijalankan, perbuatan yang dilahirkan oleh keputusan itu biasanya bukanlah aksi (tindakan atas dasar niat) tetapi reaksi (tindakan tanpa niat). Kekuatan diri juga bisa berbentuk tanggung jawab untuk mengambil, memilih dan melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan untuk menjadi penyebab (sumber solusi) bagi diri kita. Memang, manusia lahir sebagai akibat dari kreativitas Tuhan. Namun kita pun diberi tugas untuk mengubah keadaan kita yang awalnya “hanya” sebagai akibat, menjadi sebab. Sebenarnya, kita sudah diberi kemampuan untuk menjadikan tugas sebagai sebab, namun kemampuan itu masih bersifat laten (tidak actual/termanifestasikan). Kita sendiri yang harus menggali, mengasah dan mengembangkan kemampuan yang ada (potensi, prestasi, keahlian, ketrampilan), yang sejauh ini masih bersifat latent. Agar kita tidak terlalu lama “menganggur” dan jadi “passive” dalam status “akibat”, adalah dengan mengubah paradigma berpikir kita, dan memperbaharui pemahaman diri – bahwa kita adalah penyebab. Konsekuensinya, kita harus makin bertanggung jawab pada hidup dan diri kita sendiri, karena kitalah yang menginginkan hidup ini menjadi lebih baik. Besar-kecilnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap perubahan status hidupnya, dari akibat menjadi penyebab – akan menentukan besar-kecilnya aksi serta usaha yang dikeluarkan untuk meraih prestasi. George Washington Carver menyimpulkan bahwa 99 % kegagalan, justru berasal dari sikap mental kita yang membiarkan diri ber-status “akibat”. Selama kita tidak pernah mengaktifkan potensi itu menjadi prestasi atau pun kemampuan aktual, selama itu pula kita tidak akan pernah tahu kelebihan kita. Seperti yang dikatakan oleh Martina Grim bahwa kreasi yang kita hasilkan, sesungguhnya merupakan materi yang menunjukkan siapa diri kita. Selama kita menyalahkan orangtua, lembaga, atau lingkungan sebagai penyebab kelemahan kita, selama itu pula kita tidak pernah berusaha untuk memperkuat diri. Kathy Simmons dalam “EQ: What Smart Managers Know” (Executive Update: 2001) menyimpulkan bahwa kekuatan diri, akan selalu dibangun di atas keahlian dan kecerdasan emosional. Oleh sebab itu, manusia sebaiknya bersikap proaktif dalam menyambut dan mengambil tanggung jawab demi mengubah keadaan diri sendiri, dari sumber persoalan – menjadi sumber solusi. Proses Belajar
Ada beberapa strategi yang mungkin sekali dapat kita pilih sebagai cara untuk menambah kekuatan diri, yaitu: a. Learning to be
Kalau materi adalah kekuatan, keahlian adalah kekuatan atau jabatan adalah kekuatan, maka semua itu benar dan semua itu sudah diketahui oleh hampir setiap orang. Tetapi, hanya sedikit orang yang tahu, apa yang membuat diri kita memiliki kekuatan internal yang diinginkan. Memang, “memiliki” (to get – to have) adalah keinginan umum semua orang - sementara, “menjadi” belum tentu keinginan semua orang. “menjadi” atau to be, adalah sebuah keinginan spesifik untuk mewujudkan apa yang sesuai dengan kesejatian diri kita. Charles Handy pernah menulis yang isinya antara lain menyayangkan mengapa sebagian besar orang mengedepankan cara berpikir untuk memiliki lebih dulu (to get / to have), bukannya “menjadi” (to be) lebih dulu. Tidak berarti salah, tetapi memiliki itu lebih banyak bernuansa “akibat” yang diciptakan oleh “sebab”. Berpikir untuk “Memiliki” (to get/to have) bersumber dari pendekatan hidup yang memposisikan kekuatan eksternal sebagai Sebab yang berarti diri kita adalah Akibat. Jadi, dalam konteks demikian, diri kita menjadi peserta pasif dalam hidup kita sendiri, bukan lah pelaku atau sebab, melainkan obyek penderita – alias akibat. Pendapat di atas rasa-rasanya sudah klop dengan ajaran leluhur kita yang mengutamakan cita-cita (willing to be) lebih dulu. Hampir semua orangtua sudah terbiasa menanamkan semangat untuk “menjadi” (to be) lebih dulu kepada putera-puterinya ketimbang semangat untuk “memiliki” (to get/to have). Dari tipikal kehidupan masyarakat yang demikian ini, seharusnya sebagian besar dari kita dipastikan sudah mempunyai gambaran mental untuk menjadi (to be). Persoalan bahwa ada gambaran mental yang masih cocok dan ada yang meleset sama sekali, atau ada yang belum cocok, tentu ini urusan lain alias tergantung pilihan kita dan proses-proses kehidupan yang akan kita lalui: bisa diperkecil, disesuaikan, diperjuangkan, di-break-down, dilanjutkan dan seterusnya. b. To know
Untuk “menjadi” menurut apa yang kita inginkan, jelas bukan gratis tetapi membutuhkan cakupan pengetahuan yang disyaratkan oleh hukum alamiah dan tatanan ilmiah yang sifatnya sangat spesifik, yaitu : tergantung pada pilihan kita (depend on our own choice). Bagaimana agar kita mengetahui apa yang dibutuhkan untuk bisa merealisasikan proyek-proyek pengembangan diri kita untuk “menjadi” ? Ada beberapa cara :
    1. Mengetahui diri kita (self-knowledge): keinginan / peluang kemampuan / kekuatan, hambatan dan kelemahan.
    2. Mengetahui situasi dan kondisi, tuntutan dan tantangan yang akan, perlu dan harus dihadapi sebagai konsekuensi dari pilihan yang kita ambil untuk “menjadi”
    3.Mengetahui beberapa alternative cara yang disajikan oleh berbagai pengetahuan dan pengalaman kita untuk menjadi seperti apa yang kita inginkan.
Pengetahuan menyeluruh dan spesifik tentang aspek diri, kita akan membuat kita tahu tentang hal yang penting dan yang tidak penting bagi kita. Kalau kita menyimpulkan gelar akademik itu tidak penting tetapi keinginan kita untuk “menjadi” (to be) secara riil mensyaratkan adanya gelar itu, berarti pemahaman kita belum akurat. c. To Do
Dalam hal kekuatan, unsur mendasar dalam melakukan adalah kecocokan. Melakukan asal melakukan (ber-aktivitas harian) sudah dijalani oleh semua orang, tetapi sedikit orang yang menjalankan apa yang memang cocok dengan pengetahuan dan keinginan – sesuai dengan tujuannya untuk “menjadi”. Melakukan seperti ini jelas membutuhkan rumusan tujuan (goal), sasaran kecil (target) dan perencanaan beraksi (action plan) yang fleksibel dan kokoh sehingga kita tidak terjebak dalam praktek yang menjadikan aktivitas sebagai tujuan. Menjadi (To be), Mengetahui (To know), dan Melakukan (To do) adalah tiga elemen yang punya relevansi tinggi dengan kadar perjuangan, bobot keputusan ber-aksi, dan kadar tanggung jawab. Tinggi-rendahnya keinginan kita untuk “menjadi” berhubungan dengan tinggi-rendahnya daya juang kita mengalahkan tantangan. Keinginan (standar prestasi) yang rendah akan menggoda kita untuk melihat tantangan kecil menjadi besar dan sebaliknya keinginan yang tinggi akan memberikan pil “ketidakrelaan” kalau kita sampai dikalahkan oleh tantangan kecil maupun besar.
“Mengetahui” (to know) punya hubungan dengan keputusan untuk bertindak (decision to do). Seperti kata Jhon C. Maxwell, kalau kita benar-benar tahu apa yang kita inginkan maka tidak sulit bagi kita untuk melakukan apa yang kita ketahui. Dengan menjalankan keputusan menurut apa yang dijabarkan oleh pengetahuan yang kita dapatkan dari konsep dan praktek, akan membuat keputusan itu bergerak maju (beraksi), dari dalam ke luar, bukan hanya aktivitas, kesibukan dan gerakan yang tidak jelas arahnya (reaksi).
“Melakukan” (to do) punya hubungan dengan kemampuan kita menjawab (tanggung jawab). Aksi seseorang tidak lahir dari pemikiran, tetapi lahir dari kesediaan untuk menjawab tanggung jawab atas dirinya”, begitulah kata Dietrich Bonhoeffer. Tanggung jawab adalah aksi yang bisa melahirkan solusi, kalau tidak seluruhnya ya sebagiannya atau minimalnya tidak menambah jumlah problem. Semoga bermanfaat dan selamat mempraktekkan!
You have read this article cerita with the title Menggali Kekuatan Diri. You can bookmark this page URL http://elachelle89.blogspot.com/2011/07/menggali-kekuatan-diri.html. Thanks!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...