Bercinta dengan Aysha, Andari kehilangan keperjakaannya. Meski begitu, ia tidak merasakan apa yang seharusnya ia rasakan. Hasratnya dengan cepat berubah menjadi rasa takut, dan jiwanya penuh akan pahatan masa lalu yang bukan miliknya.
Andari seolah terbawa jauh ke dalam arus yang mengisap kemanusiaannya, mengubahnya menjadi seekor binatang buas yang tidak pernah mengenal emosi. Ia meladeni setiap tetes nafsu yang bergolak dalam dirinya, dan dengan napas memburu ia pun memburu kesucian Aysha.
Entah bagaimana, dunia itu terbuka untuknya. Menelusuri setiap milimeter tubuh Aysha, Andari seolah menapaki setiap jengkal kota Beirut yang sarat akan kehancuran. Menyaksikan kematian yang melimpah di sekitarnya, mencium amis darah yang tertumpah percuma, mendengar jerit tangis sesamanya. Kawah-kawah baru bermunculan di atas bumi, hasil dari bom yang menghujan dari langit.
Hangus kulit terpanggang, busuk tubuh manusia yang tergeletak tanpa nyawa, asap yang meluap ke angkasa, menandakan tragedi yang tidak bisa dimengerti akal sehat. Bayi-bayi terbaring mati di balik lembaran kain putih. Anak-anak berlarian mencari tempat berlindung, atau terbunuh di tengah jalan. Seorang gadis kecil berdiri menemani tubuh seorang wanita yang tergolek tewas dengan wajah hancur terkoyak oleh serpihan granat. Gadis itu tidak menangis, tidak juga berkata-kata. Andari tidak bisa mengenyahkan bayangan itu. Meski matanya terpejam rapat, sosok bocah perempuan itu terus menghantuinya.
Perlahan-lahan, misteri yang terkunci rapat terkuak dengan sendirinya. Gadis itu berharap matanya buta, telinganya tuli, ikut mati bersama wanita yang tidak lagi punya nyawa di sisinya. Gadis itu terdiam karena ia tahu hidupnya juga telah berakhir.
Andari menyadari kebenaran tentang potongan surat kabar yang dilihatnya di ruangan kecil milik Ahmed. Ia mendadak termenung. Andari nyaris tersedak oleh air matanya sendiri, mengingat rupa gadis kecil yang kini telah menjadi seorang wanita muda yang berbaring telentang di sampingnya. Dibelainya rambut Aysha yang tebal dan panjang, membayangkan rapuhnya tubuh yang ada dalam dekapannya.
“Wanita di dalam foto itu. . . ,” Andari mulai angkat suara.
“Sssh,” Aysha mendaratkan telunjuknya ke atas bibir Andari. “Jangan. ”
“Ibumu?”
Aysha terpejam, sementara air yang bermuara di sudut matanya mengalir bagai arus sungai kecil ke atas pipinya. Andari menghapus jejak air mata itu dengan jemarinya, mengecup kedua kelopak mata Aysha penuh iba. “Maafkan aku,” bisik Andari.
“Kami berlari menuju bunker seperti yang diperintahkan oleh Baba,” desah Aysha di tengah isak-tangisnya. “Kami mengendap-endap sepanjang jalan, memastikan bahwa kami tidak berpapasan dengan tentara Israel, ataupun pesawat jet mereka yang beterbangan di atas kami. Baba memanggil dari jauh, meminta kami untuk berlari lebih cepat. Tapi, aku merasakan kedua kakiku amat letih, tidak bisa bergerak cepat, jadi ibuku harus menungguku. Dan, sebelum aku sempat menoleh, beliau. . . ,” suaranya hilang ditelan malam, berganti dengan hening yang berkepanjangan.
Andari sudah tahu akhir ceritanya.
“Jangan menangis,” Andari berbisik. “Kalau kau menangis, aku akan ikut menangis. ”
Aysha menghapus air matanya yang masih bercucuran.
“Apa aku menyakitimu?” tanya Andari, hati-hati.
“Tidak,” jawab Aysha.
“Kau yakin?”
Aysha tidak membalas pertanyaannya.
“Andari,” panggil Aysha untuk pertama kalinya. “Bawa aku bersamamu. ”
Berbagai bendera berkibar dalam dada Andari, kemudian gugur satu per satu bagai tungkai plastik yang diembus angin kencang. Ia menyesali apa yang telah mengisi hari-hari Aysha, menyesali apa yang sedang mengisi hari-hari warga New York, tapi penyesalan takkan bisa mendamaikan hatinya yang kini tercerai berai antara ribuan dunia. Imannya goyah, mencari-cari Tuhan yang selama ini diagungkannya.
Ia ingin kembali salat lima waktu seperti dulu, sebelum waktunya tersita oleh kesibukan kerja. Ia ingin diampuni karena telah menodai lembah kewanitaan Aysha dengan nafsu duniawi. Ia ingin mengampuni wajah-wajah asing yang bertanggung jawab atas penderitaan sekian banyak orang, yang membuat dada dan kepalanya sumpek akan sosok kemanusiaan yang makin tidak sempurna.
Andari mengerang di puncak hasratnya yang habis dibanjiri peluh, tapi erangan itu terdengar seperti amarah tak bertuan. Erangan iblis bertanduk dua. Erangan anak manusia yang lelah diuji. Erangan pria dewasa yang kehilangan arah tujuan, tidak tahu jalan pulang.
Terbaring di samping Aysha, tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya, Andari membayangkan skenario kematiannya sendiri. Apakah ia akan mati mengenaskan seperti jutaan korban perang di dunia? Apakah ia akan mati di tempat tidurnya dengan anggota keluarga menungguinya? Apakah ia akan mati di sini, di tengah apartemen kosong?
Malam itu mereka terlelap tanpa bertukar sepatah kata. Tubuh mereka tergolek layaknya sepasang mayat yang ditelantarkan dalam kegelapan. Mimpi mereka bervariasi: ada surga, ada neraka, ada prajurit berjubah hitam datang menjemput dari langit kelam, ada taman yang dihiasi berbagai jenis bunga, ada kolam api yang menyemburkan lahar panas, ada reruntuhan jiwa yang tertinggal berurai di atas aspal, ada tawa, ada tangis, ada angin, ada hujan, hingga tidak sedetik pun sampai matahari kembali bersinar, mereka tersentak dari tidur.
Menjelang pagi, Andari membuka matanya dan menatap ke silaunya sinar surya yang menembus jendela apartemennya. Ia menguap, meregangkan otot tubuhnya yang pegal karena semalaman tertidur di atas lantai kayu. Betapa terkejutnya ia mendapati dirinya tergeletak seorang diri di sana.
Andari segera mengenakan pakaiannya, mengambil kunci apartemen yang masih tersangkut di pintu, dan melesat menerobos kerumunan pejalan kaki yang bergumul di jalan-jalan. Sambil berlari kecil, matanya mencari dengan teliti, menyeleksi setiap sosok yang ia temui, dan dengan napas terengah-engah mengelilingi blok apartemennya tanpa hasil.
Ia mengutuk diri, karena tidak pernah menanyakan alamat atau nomor telepon Aysha, sehingga sekarang ia tidak tahu bagaimana harus mencarinya. Ia bertanya pada setiap penjaja makanan yang berdiri di sudut-sudut jalan bersama gerobak jualan mereka, mencoba menggambarkan perawakan Aysha sejelas mungkin, namun semua menggelengkan kepala. Tidak ada wanita dengan gambaran tersebut melewati jalan ini.
Andari menggaruk kepalanya, kesal. Dengan pakaian kotor tersangkut di badan, ia berdiri di tengah hiruk-pikuk warga kota yang tengah menyiapkan diri untuk kegiatan mereka masing-masing. Kakinya tidak beralas. Ujung kemejanya dibiarkan menjuntai keluar dari balik sabuknya. Udara dingin yang berembus membuatnya gemetar, tapi ia tidak peduli.
Ia harus menemukan Aysha.
Tread:Maggie Tiojakin
You have read this article inspirasi /
motivasi
with the title Dua Sisi Kami. You can bookmark this page URL http://elachelle89.blogspot.com/2011/07/dua-sisi-kami.html. Thanks!