Malaikat dengan Sayap Patah

Kupandang sosok mungil yang teronggok di sudut halaman gudang yang gelap itu. Kukerjapkan mataku lagi, tak percaya pada apa yang tersaji di depan pandangku. Mahluk kecil itu seperti anak yang tengah bersedih. Meringkuk bergelung di balik tumpukan kardus-kardus bekas. Wajahnya tersembunyi di balik lengannya yang terlipat di lutut yang tertekuk ke tubuhnya. Ada benda seperti sayap yang terkulai lemas di punggungnya yang telanjang. Bulu-bulunya basah oleh air hujan. Berwarna coklat, terlihat dekil karena percikan lumpur. Dia hanya memakai celana pendek yang sudah using. Badannya yang kurus telanjang, memperlihatkan tulang-tulangnya yang kecil di balik kulitnya yang kotor.Aku mendekatinya perlahan-lahan, berusaha tidak membuat suara yang akan mengagetkannya. Kulihat punggungnya bergetar, terkadang terdengar isak dan desis yang tertahan di balik lengannya. Kuulurkan tangan untuk menyentuh pundaknya yang naik turun oleh tangis tertahan. Sentuhan lembutku mengagetkannya. Tangisnya berhenti. Diangkatnya kepala untuk memandang wajahku. Matanya yang gelap tampak sedih dan bengkak oleh tangis. Ia membelalak memandangku ketakutan.

“Ssssh…. Tidak apa-apa,” kataku lembut memandang mata sayunya. Kuusap rambutnya yang basah kuyup itu. Sejenak rasa kaget dan takut itu lenyap dari matanya. Ia masih menatapku dengan air mata yang terus mengalir turun membasahi wajahnya. Wajahnya sendu tak berwarna. Pucat bak pualam tak bersinar.

“Adik kecil,” sapaku lembut. “Ada apa? Kenapa menangis di tempat gelap seperti ini?”

Diangkatnya matanya memandangku. Air di mata itu berkilauan ditimpa cahaya bulan yang redup. Bibirnya yang membiru bergetar. Saat ia berusaha bicara, tak ada suara yang keluar. Hanya sebuah gumam dan erangan yang tidak jelas. Lalu sungai di pipinya kembali menderas.

“Kenapa kamu tidak pakai baju? Malam ini dingin. Mana bajumu? Apa orangtuamu tidak mencarimu, dik? Rumahmu di mana?” tanyaku kemudian.

Kepalanya menggeleng perlahan. Diletakkannya wajahnya ke kedua lengannya yang kurus dan kembali menangis.

“Sudahlah. Berhenti menangis. Ayo ikut kakak ke tempat yang lebih terang dan hangat,” ajakku. “Nanti kakak antar kau pulang.”

“Aku tak punya rumah, kak. Aku tinggal di sini.”

“Kamu tidak punya orangtua? Kamu tinggal di sini sendiri?” tanyaku tak percaya. Kulitnya yang putih menunjukkan ia bukan gelandangan. Wajah dan tubuhnya memang agak dekil karena lumpur, tapi caranya menjawab pertanyaanku memperlihatkan ia bukan anak jalanan.

Ia mengangguk lemah sambil memandang wajahku dengan matanya yang gelap itu.

“Ya sudah. Lepaskan sayapmu yang basah itu. Bawa barangmu dan ikut kakak.”

“Kemana kak?”

“Ke rumah kakak. Malam ini kamu tinggal dengan kakak dan besok kita pikirkan lagi kamu akan tinggal di mana.”

“Kenapa ke rumah kakak?”

“Sudah. Diamlah. Jangan banyak bertanya. Sekarang kamu ambil barangmu dan ikut aku. Lepaskan sayap basah itu dan pakai jaket ini. Di luar masih hujan. Dingin,” jawabku ketus.

“Sayap ini tidak bisa dilepas kak. Ini bukan mainan. Ini sayap sungguhan. Lagipula, apa kakak yakin mau mengajakku pulang ke rumah kakak?”

“ Kamu ini kenapa keras kepala sih. Sudahlah, jangan banyak bertanya. Ayo kita ke rumah kakak. Kamu tidur bersamaku malam ini.”

Dengan ragu anak itu berdiri dan memakai jaket hitamku dengan posisi terbalik, bagian depannya di belakang. Setelah itu ia mengambil satu tas kresek hitam kecil yang teronggok di balik kardus-kardus bekas itu. Dan kemudian mengikuti langkahku menembus malam yang basah. Kakiku yang panjang ternyata terlalu cepat untuknya. Maka kulambatkan langkahku untuk menunggu anak kecil itu berada di sampingku.

Kupandangi anak itu. Tubuhnya menggigil oleh dinginnya malam yang basah itu. Punggungnya sedikit membungkuk seolah terlalu berat menanggung beban. Mungkin sayap itu terlalu berat untuk tubuhnya yang kurus itu. Kakinya yang kecil dan telanjang itu berjalan dengan tersuruk-suruk. Langkahnya diseret, seakan tubuhnya terlalu lelah. Celana pendeknya berwarna gelap. Entah apa warnanya, antara coklat dan hitam. Terdapat lubang dan sobekan di sana-sini. Ada sebuah lubang besar di bagian punggungnya sehingga sayapnya dapat keluar dari lubang itu. Ternyata benda yang terlihat mirip sayap itu benar-benar sayap. Beberapa bagian sayap itu kehilangan bulu-bulunya. Menampakkan kulit yang porinya terlihat sangat besar. Mirip kulit ayam tapi porinya lebih besar lagi, karena bulu-bulunya yang juga lebih besar dari bulu ayam.

Dengan kepala menunduk ia berjalan dengan tersaruk-saruk. Air matanya telah berhenti mengalir. Namun sesekali isaknya masih terdengar. Tangannya tersembunyi di balik lengan jaketku yang terlalu panjang untuknya. Kami berjalan dalam diam. Menembus malam yang basah oleh hujan yang masih menolak untuk berhenti. Gerimis menari ditingkahi sinar lampu jalan yang redup. Kami menyusur jalan kampung yang sepi di malam berhujan itu.

Sesampai di rumahku, kuajak anak itu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kutinggalkan ia di sana untuk mandi. Setelah mengisi air di ceret untuk membuat minuman hangat, kucarikan handuk dan bajuku yang paling kecil untuknya. Saat aku kembali ke kamar mandi, ternyata ia masih berdiri di tempat yang sama. Belum juga mandi dan masih berpakaian lengkap dan basah seperti saat datang tadi.

Dengan menghela nafas panjang, kuputuskan untuk memandikan anak kecil ini. Kubuka jaketku yang menempel di tubuhnya. Kulepaskan kemejanya yang penuh lubang dan sudah tidak jelas warnanya itu. Tubuh kurusnya masih menggigil kedinginan. Saat kubuka celananya aku terkesiap melihat hal yang tidak biasa. Tidak percaya pada apa yang kulihat ini. Aneh sekali anak ini. Ia bukan anak perempuan namun juga bukan laki-laki. Anak ini tidak berjenis kelamin karena tidak ada alat kelamin yang terlihat di tempat yang seharusnya.

Namun aku tidak ingin menambah masalah malam ini. Tidak kuperlihatkan padanya rasa terkejut atau heranku. Kumandikan ia dengan lembut. Kugosok kulitnya yang terasa kasar dan berdaki. Kukeramasi rambutnya yang gimbal dan sayapnya yang kusut masai. Kuajari dia menggosok giginya sendiri. Dan kukeringkan tubuhnya dengan handuk dan kupakaikan kaus yang telah kulubangi punggungnya. Kuajak dia ke ruang makan dan kubiarkan ia duduk di sana selama aku membuat kopi untukku dan teh hangat untuknya. Aku tidak punya susu untuknya karena aku tidak suka minum susu dan aku hanya hidup sendiri di sini. Jadi dia harus puas dengan minum teh hangat manis saja.

Kucari di kulkas makanan apa yang kupunya. Kutemukan beberapa butir apel dan sebungkus mi goreng yang tak jadi kumakan semalam. Kutawarkan apel itu padanya, diambilnya dan digigitnya dengan tampang lapar. Kupanaskan mi goreng itu dan kuletakkan di piring untuknya. Aku sudah makan sebelum pulang tadi. Ia bisa makan sendiri. Jadi kubiarkan ia menghabiskan mi itu sampai tandas dari piring.

“Siapa namamu?”

“Mikael,” jawabnya sambil sibuk menyendokkan mi hangat ke mulutnya yang kecil.

“Mikael. Nama yang bagus. Aku Rangga. Kau boleh tinggal bersamaku malam ini.”

“Terimakasih kak Rangga. Kau baik sekali,” ucapnya lirih.

“Sudahlah. Itu bukan apa-apa. Apa yang kau lakukan di gudang gelap itu?”

“Aku tinggal di situ karena aku tak tahu harus kemana.”

“Memangnya kamu dari mana?”

“Aku dikirim Tuhan dari surga. Aku malaikat.”

Aku terkekeh mendengarnya. Dan anak itu memandangku dengan mata kesal. Ia tahu aku tak percaya pada jawabannya. Aku tak peduli. Bagaimana mungkin aku percaya ceritanya, bahwa Tuhan mengirimkan malaikatnya ke dunia ini? Lagipula, apa yang Tuhan harapkan dari malaikat kecil yang bahkan tak mampu mengurusi dirinya sendiri ini? Sepertinya kalau benar ia dikirimkan Tuhan ke dunia, pasti Tuhan tengah menghadapi masalah dengan sistem informasi yang dimilikinya.

“Kenapa Tuhan mengirimmu ke dunia? Kesalahan apa yang telah kau lakukan?”

“Aku dikirimkan untuk menghentikan usaha manusia melakukan aborsi pada bayinya.”

“Aborsi? Kenapa?” keherananku menyeruak. Ternyata ia bukan anak kecil. Tubuhnya memang kecil, tapi cara bicaranya lebih seperti orang dewasa. Sangat sopan dan tertata. Lagipula, mana ada anak kecil bicara tentang aborsi?

“Setiap bayi yang digugurkan akan menjadi seperti aku. Dan Tuhan akan memberi kami tugas kecil sebelum kami boleh masuk ke surga.”

“Apa sih tugas yang diberikan Tuhan pada malaikat-malaikat kecil seperti kamu ini? Menghentikan aborsi? Itu tugas yang sulit!” kataku penasaran sekaligus kesal karena kuanggap Tuhan tidak adil pada mahluk kecil yang tidak berdaya ini.

“Kami harus mendekati para calon ibu yang akan menggugurkan kandungannya. Memintanya untuk tidak membunuh bayi kecil itu supaya bayi-bayi itu tidak menjadi seperti kami.”

“Memang mengapa Tuhan menghukum kalian dengan cara seperti itu. Itu kan bukan kesalahan kalian,” nada suaraku mulai meninggi. Tak rela melihat mahluk-mahluk kecil yang telah diperlakukan tidak sewajarnya ini menerima hukuman karena perbuatan yang dilakukan orangtuanya.

Mikael menggelengkan kepalanya perlahan. Dia terlihat sangat sedih karena aku tidak mengerti maksudnya. Diangkatnya matanya dari piring yang sudah kosong itu. Ternyata dia benar-benar lapar, mi dengan porsi besar itu telah dihabiskannya dalam waktu singkat. Dipandangnya mataku lekat-lekat, seakan ingin membuatku mengerti.

“Ini bukan hukuman untuk kami. Ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk membantu kami bertemu dengan ibu kami di surge nanti,” jawabnya lirih dengan mata yang berbinar. “Aku ingin tinggal di surga dengan ibuku, nanti.”

“Mengapa begitu? Mengapa tak kau benci ibu yang telah membunuhmu, Mikael?”

“Dia ibuku. Keputusannya itu membunuhku diambil karena ia putus asa. Karena ia tidak punya kawan yang menghibur dan membantunya. Itu sebabnya kami ditugasi Tuhan untuk mendatangi para calon ibu itu dan menemani mereka agar tidak kesepian. Dan kami juga harus membujuknya agar mengurungkan niatnya melakukan aborsi.”

“Lalu bagaimana kamu menemani mereka, Mikael? Bagaimana kamu bisa membujuk mereka untuk tidak melakukan aborsi?”

“Aku hadir dalam mimpi mereka. Aku bercerita tentang hidupku dan bagaimana aku akan bahagia bila dilahirkan oleh ibuku. Semua hanya kulakukan dalam mimpi mereka, dalam pikiran mereka. Bila aku berhasil menghentikan niat mereka untuk aborsi. Maka Tuhan mengijinkanku kembali ke surga untuk menunggu saat akhir dari ibuku.”

“Jadi saat ini kau belum berhasil, ya?” tanyaku. Masgul membayangkan nasib Mikael sebagai bayi yang digugurkan.

“Bukan begitu. Aku sudah berhasil menghentikan beberapa calon ibu melakukan aborsi. Tapi aku suka sekali tugas ini dan ingin melakukannya lagi.”
“Oooh…”
“Wanita tadi malam adalah calon ibu ke-tujuh yang kudatangi dalam mimpi. Aku berharap akan bisa menghentikannya. Tapi ia begitu marah padaku karena mengganggu tidurnya. Ia membentakku lalu mengibaskanku dari mimpinya. Ini adalah pertama kalinya aku terlempar dari mimpi seorang calon ibu yang merencanakan menggugurkan kandungannya.”

“Oooh…,” kataku tak mampu berkata. “Lalu?”

“Aku tahu, setelah bangun nanti ia akan menetapkan hati untuk melakukan aborsi. Suaminya telah lari dengan perempuan lain tahun lalu. Bayi yang dikandungnya kini adalah hasil hubungan gelapnya dengan seorang pejabat pemerintah daerah yang mengambilnya sebagai istri simpanan. Dan pria ini memintanya menggugurkan kandungan karena tidak ingin istri simpanannya menimbulkan masalah baginya.”

“Oooh…,” lagi-lagi aku Cuma menggugu.

“Saat ia mengibaskanku aku terlempar ke gudang itu, menabrak pintu baja yang sangat keras itu. Aku tak mampu terbang kembali ke surga karena sayapku patah dan bulu-bulu sayapku banyak yang lepas. Aku harus tinggal di dunia sampai sayapku menumbuhkan bulu-bulunya yang baru.”

“Terimakasih karena telah menolongku, Kak Rangga. Aku berharap aku boleh tinggal di sini beberapa hari. Aku perlu menyembuhkan sayapku sambil menunggu bulu-buluku tumbuh kembali,” katanya lembut sambil memandangku. “Aku bersyukur ibumu tak menggugurkanmu, sehingga kau menjadi orang yang sangat baik dan mau menolongku.”

Aku hanya mengangguk dalam kebisuanku. Pikiranku melayang pada perempuan yang kupanggil ibu bertahun-tahun yang lalu. Yang menghidupiku sendirian karena ayahku lari dengan perempuan lain. Ibuku harus menghidupi empat anaknya dengan tubuhnya yang lemah dan sakit-sakitan. Dia menjual gorengan di kampung di sore hari, menjadi buruh cuci di pagi hari. Dan kadang-kadang, ia harus berutang di warung Mpok Ijah untuk membeli beras termurah, beras jatah pegawai negri yang apek baunya. Beras yang sudah berwarna kuning dan penuh kutu. Untuk menghilangkan bau apak dari nasi, ibu memasukkan daun pandan yang dipetiknya dari pohon pandan yang ditanamnya di sumur belakang. Dan nasi hangat yang sedikit itu kami makan dengan taburan garam.

Sebutir air hangat menitik dari sudut mataku. Permata yang kupersembahkan bagi ibuku, yang membiarkanku tumbuh dalam rahimnya, meski suaminya pergi meninggalkannya. Seandainya saat itu ia menggugurkan aku, tentu hidupnya akan jauh lebih mudah dengan tiga anak yang harus dibesarkannya. Namun, lihatlah aku kini. Kata ibu ia bangga padaku. Kata ibu aku adalah anaknya yang paling berhasil. Kata ibu di saat menghadapi sakratul maut, ia tidak pernah menyesal membesarkanku meski dengan susah payah dan menumpahkan air mata darah.

Aku berdiri dan kuangkat Mikael dari kursinya. Kuciumi wajah halusnya yang masih terlihat pucat itu.
“Tinggallah di sini selama kau mau. Bantulah para calon ibu menghadapi kesendiriannya. Jangan ada lagi bayi-bayi yang diaborsi dan harus menghadapi tugas seperti kamu. Mikael, terimakasih karena kamu telah mampir dalam hidupku.”

Malam semakin larut. Suara hujan telah berhenti. Jengkerik dan katak mulai bernyanyi lagi. Meramaikan dinginnya malam yang mulai menjemput fajar pagi. Kupandangi jendela yang meluncurkan titik-titik air hujan terakhir. Garis-garis air di latar gelap itu memantulkan sinar lampu. Kupalingkan wajahku dan kupandangi Mikael yang berbaring meringkuk di sofa. Wajahnya begitu damai dengan senyum lembut yang mengembang di wajah putihnya. Aku jadi teringat wajah ibu yang damai saat menghadapi akhir hidupnya. Senyum lembut tergurat di wajahnya yang penuh kerut berkeriput. Senyum terakhirnya yang dikembangkan untukku, anaknya.

sumber : oase.kompas.com



click ====>>>